Kamis, 22 Januari 2015

#ithoughtloveisbullshit

Menunggu Berakhir Pilu

Pertama ku melihat wajahnya hanya lewat sebuah foto, aku merasa kagum akan kecantikan dan kesederhanaanya. Rendah hati, baik,cantik,sederhana, dan lembut, itulah yang khayalan membekas dalam kepalaku tentang dirinya. Wajahku terus tersenyum dan tak bisa mengungkapkan kata-kata lagi dan ku tak tahu apa namanya. Umur, bukanlah sebuah halangan untuk mendapatkan sesuatu, ‘khususnya’ yang satu ini. Aku tidak ingin menyebutkan namanya, karena menyebutkan namanya saja membuatku malu.
Kuingin sekali menelponnya, tapi tak tahu berapa nomor teleponnya. Lewat temannya lah aku mencoba memintanya dan Alhamdulillah aku di berikan nomor teleponnya. Hatiku girang tak menentu. Pertama kuingin sekali menelponnya, tapi aku malu untuk menghubunginya karena tak ada cara lain berkomunikasi selain pesan singkat (SMS). Seperti yang kupikirkan, itulah yang muncul ketika pertama kali ketika berkomunikasi dengannya.
Hari demi hari seperti serasa dekat dengannya walaupun umur, pendidikan, dan jarak  yang memisahkan kita. Beberapa bulan lamanya Alhamdulillah semakin dekat bagaikan ‘sahabat’. Suatu hari aku mencoba menanyakan ‘dia’ dengan temannya mengenai bagaimana tanggapannya terhadapku, temannya mengatakan hal-hal yang baik dan aku tidak girang gembira akan hal itu dan saat itulah temannya memberikan saran untuk mecoba mengungkapkan perasaan aku terhadapnya. Saat itu aku mencoba menungkapkan perasaanku, bukan bertemu langsung melainkan lewat telepon. Kupikir itu satu tindakan yang tepat tetapi itu tindakan yang bodoh, dan akhirnya ‘dia’ belum bisa menerimanya, bukan karena dia punya pasangan melainkan dia belum siap menerima karena dia lebih senang bersahabat denganku dan ingin focus belajar untuk menuju ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan berat hati ku merasa malu dan sakit hati akan penolakannya, tapi itu bukanlah akhir dari sebuah kisah ceritaku.
Beberapa minggu kemudian kembali berkomunikasi walau lewat SMS. Walaupun kami sering berkomunikasi lewat SMS kadang pula lewat telepon, hal itulah yang membuatku senang. Dia suka menceritakan tentang kejadian di sekolah, entah baik maupun buruk, kadang pula dia menceritakan hal yang lucu dan memalukan tapi itu semua untuk membuatnya senang begitu pula sebaliknya.
Komunikasi itu terus berlanjut dalam waktu yang cukup lama, hingga suatu hari entah kebetulan atau tidak, kami bertemu kembali. Ketika itu aku telah menyelesaikan kuliah perdanaku, aku hendak ingin pulang kembali ke kampong halaman. Ketika hendak ingin pulang hanya satu rencana ‘utama’ ku kembali, selain bertemu dengan teman lama, tentu saja aku bertemu dengannya. Ketika kembali ke kampong halaman, pertama rencana ku bertemu seluruh keluarga lalu keesokan harinya dilanjutkan dengan pergi ke SMA bertemu dengan teman lama, guru dan tentunya ‘dia’.  Tanpa sadar temannya memanggilku dan secara tidak sengaja akhirnya aku bertemu dengannya secara langsung. Kata-kata yang terlintas dipikiranku kemudian menghilang begitu saja, bertemu dengannya adalah suatu anugerah terbesar. Ketika bertemu langsung, kami pun seperti orang bodoh tidak tahu mau berbicara apa, tapi saling melemparkan senyum. Alhamdulillah, Allah mempertemukan kita, walaupun kita bukanlah seorang pasangan, untuk waktu yang tidak lama, karena ‘dia’ harus melanjutkan pelajaran kembali. Beberapa jam saja aku bertemu dengannya adalah hal yang indah. Singkat tapi bermakna, adalah hal bisa kukatakan sekarang ini.
Bulan Februari, adalah bulan yang akan terus aku ingat sementara ini, singkat tapi penuh makna. Bulan berikutnya, komunikasi kami berdua terus berjalan layaknya air yang mnengalir di sungai dengan begitu tenangnya, itulah hal yang dapat kugambarkan bagaimana ‘persahabatan’ kami berdua. April, adalah bulan yang tak punya arti bagiku, tapi bagi dia adalah bulan yang paling menegangkan dan mengerikan layaknya film horror, bulan itu adalah bulan yang paling menyenangkan dan menyedihkan, karena bulan April adalah bulan untuk menhadapi Ujian Nasional (UN). Momen itu adalah kala kita harus berkumpul bersama dengan sahabat-sahabat terdekat untuk waktu yang cukup singkat, momen kebersamaan dengan teman yang dijalin lamanya harus berakhir, karena semua akan menjalani masa depan yang berbeda nantinya. Kembali lagi kami tetap komunikasi, aku tidak ingin menganggu konsentrasinya yang semakin hari semakin dekat menjelang UN. Hari itu aku tetap berkomunikasi tapi cuma memberi pesan kepadanya bahwa UN itu harus dihadapi dengan sabar, ikhlas, tawakkal dan ridho, aku cuma bisa mendoakan mudah-mudahan semuanya bisa mengerjakan soal dengan lancar tanpa beban sedikit pun dan semua berakhir dengan bahagia, yakni lulus 100%. Mungkin itu yang bisa aku ungkapkan kepadanya untuk sementara, selama beberapa minggu aku tidak ingin menganggunya dulu dan tetap focus di dalam perkuliahanku.
Entah kebetulan atau tidak selama kuliah, niatku untuk kuliah semakin turun, entah mata kuliahnya yang kurang mengenakkan atau aku yang terlalu malas, semuanya berubah. Setelah melaksanakan UN, hatinya kembali senang dan ceria tanpa beban sedikit pun layaknya orang yang baru jatuh cinta. Ketika kembali menelponnya, dia terasa senang sekali, syukur Alhamdulillah, dia menceritakan semua kejadian selama UN berlangsung selama 4 hari. Kembali lagi layaknya air yang mengalir tenang. Selama komunikasi dia menceritakan keresahannya yang bingung untuk menlanjutkan ke Perguruan Tinggi, ada beberapa pilihan yang diambil, yakni Pendididikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Sosiologi dan Ilmu Komunikasi. Sebagai Mahasiswa, aku Cuma memberikan nasihat dan mendukung apapun pilihan yang terbaik diambilnya. Jika ingin jujur, aku senang sekali ‘berteman’ dan ‘bersahabat’ dengannya, walaupun lewat komunikasi, dan jarak yang memisahkan kita berdua.
Dalam 3 minggu kedepan menjelang hari ulang tahunnya bulan Mei nanti, aku berencana bersama temannya untuk tidak ingin menghubunginya dalam bentuk apapun, walaupun berat bagi aku, Insya Allah aku mencoba melakukannya, kenapa aku lakukan hal itu ?, aku ingin hal ini untuk menguji seberapa apa dan bagaimana rasanya jika aku tidak berkomunikasi dengannya, apakah dia punya rasa yang lebih atau rasa sebatas sahabat saja dengan aku.
Aku menjalaninya 3 minggu dan balik ke dalam perkuliahan. Hingga harinya pun tiba, aku tidak bisa meberikan sesuatu yang special tidak seperti teman-temannya yang memberikan kartu ucapan yang dihiasi dengan indah, hanya sebuah harapan dan doa yang bisa kuselipkan, mudah-mudahan bisa menjadi anak yang baik bagi kedua orang tuanya, sahabat dan orang-orang yang sayang terhadapnya. Happy Birthday. Itulah yang bisa kuucapkan dengan singkat dan sederhana terhadapnya, respon dengan senang adalah hal cukup bagiku. Aku bukanlah yang pertama yang bisa memberikan kata selamat ulang tahun baginya, tapi aku akan berusaha menjadi orang yang terakhir baginya. Aku bukanlah orang yang special dimatamu, dimataku kau tetap menjadi orang yang special.

Hari ulang tahun yang dinginkannya senang mungkin seolah rasanya menjadi rusak karenaku. Malam itu aku mencoba untuk melakukan sekali lagi tapi aku melakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Malam itu aku mencoba mengungkapkannya kembali bagaimana perasaanku selama ini, dia menanggapinya dengan baik, dan hari itu pun aku mencoba menjalin hubungan jarak jauh dengannya, tapi apa?? Semua berakhir pilu bagiku lagi dan lagi. Hari itu aku tak paham, mengapa skenario yang kubuat begitu lamanya tetap pula berakhir sama?  Malam itu dia menceritakan sedikit rahasia kepadaku, dia menceritakan bahwa selama kami berkomunikasi selama berbulan, dia sedang berhubungan dengan laki-laki lain. Walaupun tak begitu lama, terlintas dipikiranku untuk apa kau menceritakan kau semua ini kepadaku, membuat semuanya semakin pilu. Dia meminta maaf kepadaku jika tak menceritakan sebelumnya, seperti halnya film ada yang berakhir bahagia adapula yang berakhir sedih. Akhirnya aku memaafkannya. Dan untuk saat ini aku mencoba untuk tidak berkomunikasi dengannya.  Allah mungkin belum mentakdirkan kami berdua untuk menjadi pasangan. Ini hanyalah sebuah awal. Memaafkan belum tentu melupakan, mungkin benar apa yang disampaikan oleh seorang sastrawan bernama Khairil Anwar, Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar